Teknologi pemulihan kesehatan tanah sawah
PEMULIHAN KESEHATAN DAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN SUBOPTIMAL DENGAN TEKNOLOGI INTENSIFIKASI PADI AEROB TERKENDALI BERBASIS ORGANIK (IPAT-BO)
| |||||||||||||||||||||||||||||
Kondisi ekosistem lahan sawah maupun lahan kering di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan dan sudah termasuk kategori sakit dan kelelahan ((sick soils and fatigue). Sekitar 70 % dari lahan sawah telah memiliki kandungan C-organik yang rendah (<2% ) akibat intensifnya pemberian pupuk anorganik dan eksploitasi yang berlebihan (input << output). Konsekuensinya lahan tidak resposif lagi terhadap pupuk (levelling off) dan meningkatkan organisme pengganggu tanaman (OPT). Intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik (IPAT-BO) ). IPAT-BO merupakan sistem produksi holistik terpadu berbasis input lokal (kompos jerami, pupuk hayati, dan input lainnya ) dengan konsep LEISA (low external input sustaibale agriculture) dan managemen tata air, tanaman dan pemupukan untuk memanfaatkan kekuatan biologis tanaman (potensi sistem perakaran dan jumlah anakan produktif) maupun kekuatan biologis tanah atau soil biological power (kelimpahan organisme tanah menguntungkan) berdasarkan rancang bangun teknologi dan managenen input untuk mencapai target produksi (output oriented managemen) secara terencana (by design. Adopsi IPAT-BO dan pemanfaatan kompos jerami mampu mempecepat pemulihan kesehtan lahan dan meningkatkan produksi padi. Hasil penggunaan kompos jerami hingga 5 t ha-1 pada sistem dan teknik IPAT BO mampu meningkatkan produksi padi dengan signifikan dan mengurangi penggunaan pupuk anorganik dengan signifikan. Hasil penerapan teknologi IPAT-BO di beberapa daerah di Indonesia tahun 2007 sampai dengan 2010 yaitu 8 – 11 t ha-1 GKP, mengalami peningkatan 50 - 100%. Kompos jerami merupakan bahan atau agen pemulih kesehatan dan kesuburan tanah yang murah dan mudah diperoleh di lahan. Aplikasi kompos jerami selain mampu meningkatkan kesehatan dan kualitas lahan sawah dalam waktu relatif singkat (4 – 6 musim tanam), juga berperan sebagai pupuk lengkap untuk mengurangi penggunaan pupuk buatan, terutama pupuk K dan Si dapat disubstitusi hingga 100% dan sebagai sumber energi dan nutrisi bagi mikroba tanah menguntungkan. Penggunaan jerami dengan dosis 2 – 6 ton/ha tanpa pupuk K mampu menghasilkan sekitar 6 – 8 ton GKG/ha dibandinghkan dengan tanpa kompos jerami dan dipupuk hingga 150 kg KCl hanya menghasilkan 6 ton GKG/ha. Cetak biru teknologi pemulihan lahan sawah dan peningkatan produksi padi berbasis kompos jerami dengan teknologi IPAT-BO diperlukan untuk mempercepat pemulihan lahan sawah dan peningkatan produksi padi secara berkelanjutan.
Kata kunci : Pemulihan lahan, Kompos jerami, IPAT-BO, Suboptimal, kesehatan tanah. | |||||||||||||||||||||||||||||
I. PENDAHULUAN
Keberhasilan untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan di Indonesia berkaitan erat dengan pertambahan jumlah penduduk, peningkatan produksi padi dan degradasi kualitas dan kesehatan lahan sawah. Fokus permasalahannya adalah harus mampu meningkatkan produksi padi untuk memenuhi kenaikan kentuihan akibat pertambahan jumlah penduduk (saat ini sekitar 1,3 % per tahun) dan berkurangnya areal lahan sawah (sekitar 100.000 ha/tahun). Untuk mengimbangi kenaikan jumlah penduduk, diperlukan setidak-tidaknya diperlukan peningkatan produksi padi sekitar 5% per tahun.Tingkat komsumsi beras di Indonesia termasuk tertinggi, yaitu sekitar 139 kg/kap/thn (termasuk pangan, kebutuhan industri, dan pakan ternak) bila dibandingkan dengan Jepang 45 kg/kap/thn, Malaysia 80 kg/kap/thn, Thailand 90 kg/kap/thn dan konsumsi rata-rata dunia saat ini adalah 56,9 kg/kap/thn. Konsekuensinya dapat dipastikan bahwa ketahanan dan kemandirian pangan semakin terancam karena pertambahan jumlah penduduk, keterbatasan lahan dan teknologi untuk menaikkan produktivitas. Bila diasumsikan tingkat konsumsi beras tetap 139 kg/kap/thn, laju pertumbuhan penduduk tahun (2005?2010) sebesar 1,3%, (2011?2015) sebesar 1,18% dan (2025?2030) sebesar 0,92%, maka diperkirakan kebutuhan konsumsi tahun 2030 sebesar 40 – 45 juta ton. Luas panen padi tahun saat ini sebanyak 11,84 juta hektar (luas sawah sekitar 7,9 juta ha), produktivitas nasional sekarang sekitar 4,6 t/ha gabah kering giling (GKG, rendemen beras sekitar 62 – 65%). Keberhasilan peningkatan produktivitas tanaman padi tersebut dicapai dengan program intensifikasi (panca usaha tani) dengan bertumpu pada penggunaan input eksternal secara intensif (pupuk anorganik dan pestisida), yaitu dengan konsep HEIA (high external input agriculture) Untuk mencapai produktivitas sekitar 4 – 6 ton/ha diperlukan pemupukan dengan 300 – 400 kg Urea/ha, 100 – 200 kg SP-36/ha dan 100 – 150 kg/ha, penggunaan pestisida sangat intensif dan air irigasi yang sangat boros. Penggunaan pupuk anorganik yang intensif ini, walaupun mampu meningkatkan produksi padi dengan signifikan, ternyata juga memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan (degradasi) kesehatan dan kualitas tanah (Soil health and soil quality) (Simarmata, 2008; Turmuktini dan Simarmata, 2010). Penggunaan pupuk N secara intensif akan memacu mineralisasi bahan organik tanah sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kadar C-organik dalam tanah. Hasil berbagai kajian menunjukkan bahwa kadar C-organik pada lahan-lahan sawah di sentra produksi padi umumnya sudah rendah (< 2%). Diperkirakan lahan sawah dengan kandungan bahan organik =1,5 - 2% sekitar 73% dan yang memiliki kandungan C-organik > 2% hanya sekitar 4%, sisanya memiliki kandungan C-organik kurang dari 1,5% (Irsal Las, 2010 dan Simarmata, 2010). Berdasarkan indikator kesehatan tanah, maka lahan sawah dengan kadar C-organik < 1,5 % termasuk kategori sakit berat (degradasi berat), 1,5 – 2% (sakit) dan lahan sawah sehat memiliki kandungan C-organik 3 – 5 %. Berdasarkan penilaian tersebut, terdapat sekitar 5 juta hektar lahan sakit di Indonesia. Indikasi bahawa lahan sawah sudah sakit antara lain dapat tercermin dari; melandainya respon terhadap pemupupukan (Levelling off : pemupukan yang intensif bertumpu pada penggunaan pupuk buatan sudah mencapai titik jenuh, bahkan dan menyebabkan terjadinya penurunan kualitas dan kesehatan tanah sawah), meningkatnya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) seperti penyakit dan serangan hama wereng, perakaran padi dangkal, lapisan bajak semakin dangkal dan tanaman padi mudah rebah Hal lain yang menyebabkan terjadinya percepatan penurunan kesehatan lahan sawah adalah tidak seimbangnya input dengan output pada lahan sawah (terjadi eksploitasi). Sebenarnya, produk utama bertanam padi adalah pupuk organik berbentuk jerami (sekitar 1,5 x hasil gabah). Hanya saja jerami sebagai pupuk organik yang sangat murah dan multi manfaat, umumnya belum dimanfaatkan, bahkan dibakar atau diangkut untuk keperluan lainnya. Akibatnya, output yang keluar dari lahan semakin besar sehingga mempercepat terjadinya penurunan kesehatan lahan dan pengurasan nutrisi yang sangat penting untuk padi yaitu sililika (Si). Hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini disebagian besar lahan sawah di Indonesia kandungan silikanya sudah semakin kritis (Husnain, 2008, Anonim, 2010). Silika diserap tanaman padi dalam jumlah besar (Si>K>N) dan berperan penting dalam meningkatkan kesehatan tanaman dan ketahanan tanaman terhadap serangan penyakit (blast) maupun hama (wereng). Kompos jerami selain kaya akan C-organik (sekitar 30 -40%), juga mengandung hara yang lengkap baik makro (1,5 % N, 0,3 – 0,5 % P2O5, 2 – 4% K2O, 3 – 5 % SiO2) maupun mikro (Cu, Zn, Mn, Fe, Cl, Mo). Penggnaan kompos jerami sekitar 2 ton/ha mampu mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 50%. Selain itu, komposisi kandungan hara kompos jerami sangat optimal untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Aplikasi sekitar 2-6 ton kompos jerami mampu mensuplai kebutuhan tanaman untuk menghasilkan sekitar 8 ton GKG/ha (Nazarudin et al., 2010). Upaya pemulihan kesehatan lahan sawah dan peningkatan produktivitas padi dapat dilakukan dengan pengelolaaqn lahan sawah terpadu secara berkelanjutan (sustainable of integrated paddy soil management). Salah satu diantaranya adalah (Intensifikasi Padi Aerob Terkendali Berbasis Organik(IPAT – BO). IPAT-BO adalah sistem produksi holistik terpadu berbasis input lokal (kompos jerami, pupuk hayati, dan input lainnya ) dengan konsep LEISA (low external input sustaibale agriculture) dan managemen tata air, tanaman dan pemupukan untuk memanfaatkan kekuatan biologis tanaman (potensi sistem perakaran dan jumlah anakan produktif) maupun kekuatan biologis tanah atau soil biological power (kelimpahan organisme tanah menguntungkan) berdasarkan rancang bangun teknologi dan managenen input untuk mencapai target produksi (output oriented managemen) secara terencana (by design). Teknologi IPAT-BO dikembangkan sejak tahun 2007 oleh Tim peneliti Fakultas Perteanian Unpad bekerjasama dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Simarmata, 2008).. Adopsi IPAT-BO dengan memanfaatkan jerami (kompos jerami) pada berbagai provinsi di Indonesia (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Sulsel, Sumut, NTT, dll) hingga awal 2011, mampu menghasilkan padi 8?12 t/ha (peningkatan hasil rata-rata berkisar 50?150% dibandingkan dengan sistem anaerob). Pada lahan sawah yang relatif baik (produksi 6?8 t/ha) kenaikan produksi berkisar 50?100% sedangkan pada lahan yang kurang subur (produksi 3?5 t/ha) kenaikan produksi mencapai 100–200%. Kenaikan hasil tersebut berkaitan langsung dengan meningkatnya zona perakaran hingga 4?10 kali, jumlah anakan bermalai hingga 60?80 malai/rumpun, panjang malai 25?35 cm dan jumlah gabah 150?250 butir/malai serta meningkatnya keanekaragaman biota tanah (biodiversity) yang menguntungkan (beneficial organism in soils) dalam kondisi aerob. Keunggulan lain dari IPAT-BO adalah hemat air (hanya 25 - 35% dari sawah konvensional), hemat bibit (20–25%) dan hemat pupuk anorganik, hemat pestisida (masalah hama keong dapat dikendalikan dengan mudah) dan panen lebih awal sekitar 7?10 hari. (Simarmata, 2008 dan Simarmata & Joy, 2010). Paparan di atas memperlihatkan bahwa aplikasi IPAT-BO mampu berperan ganda yaitu berperan dalam pemulihan kesehatan lahan sawah (remediation of paddy soil health) dan meningkatkan produktivitas padi secara berkelanjutan. Bagaimanakah teknologi IPAT-BO mampu memulihkan kesehatan lahan sawah dan meningkatkan kelimpahan biota tanah dan produksi padi ?, merupakan pokok bahasan dalam paper ini.
II. KONSEP DASAR DAN PILAR IPAT-BO
Tanah merupakan media tumbuh dan tempat berlangsungnya berbagai proses biologis, reaksi biokimia dan aliran energi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebagai mesin biologis (konversi energi magnetik menjadi energi kimia melalui proses fotosintesis). Oleh karena itu, tanah merupakan sistem hidup yang kompleks dan dinamis. Sebagai habitat, tanah dihuni oleh organisme tanah dari yang berukuran paling kecil (mikroba) hingga yang berukuran besar (meso dan mega fauna) berinteraksi satu sama lain membentuk suatu jaringan makanan (food web). Dalam satu hektar tanah lapisan atas yang subur dan sehat (healthy soil) terdapat sekitar 1.200 kg bakteri, 1.200 kg aktinomycetes, 2.400 kg buluk (molds), 120 kg algae, 240 kg protozoa, 51 kg nematoda, 120 kg insekta, 1.200 kg cacing tanah dan 2.400 kg akar tanaman membentuk komunitas dalam ekosistem tanah (Simarmata, 2005; Ingham, 2001; Sullivan, 2004). Ekosistem tanah yang sehat dan subur (healthy soils) mencerminkan adanya interaksi harmonis, baik antara komponen abiotik dengan biotik, maupun sesama komponen biotik membentuk suatu rangkaian aliran energi. Komponen biotik dari suatu ekosistem dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) produsen: organisme (tumbuhan dan mikroba) yang mampu memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dan CO2 sebagai sumber karbon melalui proses fotosintesis untuk menghasilkan biomassa organik (perubahan energi magnetik menjadi energi kimia yang disimpan dalam ikatan senyawa hidro karbon atau senyawa organik), (2) konsumen: organisme yang mengkonsumsi senyawa organik untuk memenuhi kebutuhan energinya, dan (3) destruen atau pengurai (dekomposer): mikroba yang merombak senyawa organik yang sudah mati (tanaman, hewan, limbah organik dari perkotaan maupun industri) untuk mendapatkan energi dan nutrisi melalui proses respirasi atau fermentasi. Dari perspektif tanaman, tanah merupakan tempat terjadinya proses konversi hara yang terikat dalam senyawa organik maupun anorganik menjadi hara tersedia atau yang dapat diserap oleh tanaman. Hal ini berarti bahwa tanah merupakan bagian pencernaan eksternal dari tanaman. Konsenkuensinya, kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman sangat tergantung pada kualitas, kesehatan tanah dan keanekaragaman hayati. Penggunaan berbagai bahan kimia (pestisida) menyebabkan terputusnya aliran energi dan keseimbangan ekosistem alami yang menguntungkan tanaman. Oleh karena itu, managemen input dalam pertanian diarahkan untuk mempertahankan dan meningkatkan biodiversitas yang menguntungkan tanaman. Kunci utamanya terletak pada pasokan bahan organik tanah sebagai titik awal aliran energi (entry point of energy) ke dalam tanah dan konservasi tanah dan air.
Dasar pemikiran dan Pilar IPAT-BO secara ringkas diuraikan di bawah ini
| |||||||||||||||||||||||||||||
2.1. Perubahan Ekologis Lahan Sawah Tergenang (Anaerob) Menjadi Tidak Tergenang (Aerob)
Perubahan ekologis sawah dari tergenang (anaerob) menjadi tidak tergenang atau aerob (lembab) ternyata memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan (anakan dan perkembangan sistem perakaran) dan peningkatan produksi padi serta aktivitas biologi tanah. Intensifikasi padi sawah dengan sistem tergenang (anaerob) tidak saja menyebabkan tidak berfungsinya kekuatan biologis tanah (soil biological power), tetapi juga menghambat perkembangan sistem perakaran tanaman padi. Dalam kondisi anaerob, keanekaragaman hayati (biodiversity) tanah sangat terbatas. Biota tanah yang aerob tidak dapat berkembang dan diperkirakan hanya sekitar 30% perakaran tanaman padi yang berkembang dengan baik. Konsekuensinya, potensi hasil dariberbagai varietas tanaman padi yang diperoleh saat ini (7?8 ton/ha) merupakan hasil dari 30% sistem perakaran saja. Pertanaman dengan sistem aerob (lembab hingga macak-macak) menghasilkan sistem perakaran paling tidak sekitar 3?4 kali lebih besar dibandingkan dengan sistem tergenang (Gambar 1). | |||||||||||||||||||||||||||||
Gambar 1. Sistem perakaran padi aerob (tidak tergenang) 3?4 kali lebih banyak dibandingkan dengan anaerob (tergenang)
| |||||||||||||||||||||||||||||
Bila perkembangan sistem perakaran yang optimal didukung oleh pasokan hara dan keanekaragaman hayati dalam tanah, maka potensi hasil padi secara teoritis dapat meningkat menjadi 3 kali lipat (menjadi 15?25 t/ha). Besarnya tingkat produktivitas yang mampu dicapai sangat ditentukan kondisi agroekosistem dan tingkat penerapan teknologinya.
2.2. Tanah Sebagai Pabrik Pupuk Alami (Bioreaktor) 2.2.1. Pupuk Hayati (Biofertilizers) Tanah sebagai sistem hidup dihuni oleh berbagai organisme yang berperan sebagai pupuk hayati (biofertilizers), antar lain : penambat N, pelarut fosfat, penghasil fitohormon (Sharma, 2004: Abbott dan Murphy, 2003). Oleh karena itu, tanah tidak hanya berperan sebagai media tumbuh, tetapi juga merupakan pabrik pupuk alami atau reaktor biologis (bioreaktor) untuk memasok nutrisi tanaman yang diperlukan tanaman. Organisme tanah tersebut umumnya bersifat aerob (memerlukan oksigen untuk respirasi). Penggenangan pada lahan sawah akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan mikroba tersebut (pabrik pupuk alami tidak/kurang berfungsi), akibatnya kebutuhan hara bergantung penuh pada pasokan dari eksternal. Sebaliknya budidaya padi dengan teknologi IPAT-BO dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan biota tanah yang berperan sebagai pupuk hayati. Keberadaan dan kontribusi mikroba tersebut sangat tergantung pada pasokan bahan organik dan tata air dalam ekosistem tanah. Keanekaragaman hayati dari organisme menguntungkan dalam ekosistem tanah merupakan kekuatan biologis (soil biological power) untuk meningkatkan ketersediaan hara dan kesehatan ekosistem tanah. 2.2.2. Bahan Organik Sebagai Bahan Bakar Bagi Bioreaktor Sebagaimana dikemukakan terdahulu bahwa bahan organik merupakan titik awal (entry point) aliran energi ke dalam ekosistem tanah. Kunci keberhasilan budidaya padi dengan IPAT-BO sangat bertumpu pada keberadaan dan suplai bahan organik dalam tanah. Pupuk organik selain sebagai aktivator, dinamisator dan regulator sistem hidup (biota tanah), juga sekaligus sebagai sumber nutrisi (hara makro dan mikro) dan bahan bakar bagi pabrik pupuk alami atau bioreaktor (Ingham, 2001; Abbott dan Murphy, 2004; Simarmata, 2006). Kebutuhan pupuk organik dapat dipenuhi dengan memanfaatkan jerami padi. Perbandingan produksi jerami dengan gabah berkisar 0,8 : 1 ? 1,2 : 1. Pengomposan jerami selain dapat meningkatkan kualitas (kandungan hara, kandungan mikroba menguntungkan), juga berperan dalam membunuh bibit penyakit atau pathogen. Pengomposan dengan komposisi yang baik dapat menghasilkan kompos jerami dengan kandungan 1,5 ? 2% N, 15 ? 24% C, 1,5 ? 2%. K, 2 ? 3% P, 1,5 ? 2% Ca, dan 0,5% Mg dan hara lainnya serta mengandung mikroba menguntungkan (pupuk hayati dan agen hayati) (Simarmata, 2006). Jika digunakan dosis 5?10 t/ha, maka kebutuhan nutrisi dengan tambahan dari pupuk hayati untuk mencapai hasil 8?12 t/ha sudah memadai. Kombinasi penggunaan pupuk organik dengan pupuk anorganik (dosis dikurangi hingga 50%), ternyata mampu memberikan hasil yang sangat memuaskan. 2.3. PADI DAN POTENSINYA Tanaman padi pada dasarnya bukan tanaman air, tetapi dapat tumbuh dalam kondisi tergenang karena memiliki jaringan aerenchym untuk mensuplai oksigen ke sistem perakaran. Dalam kondisi tergenang, tanaman memanfaatkan energinya untuk mensuplai oksigen ke sistem perakaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggenangan menyebabkan kerusakan pada jaringan perakaran karena terbatasnya pasokan oksigen yang sangat diperlukan dalam proses respirasi akar (Ho, 2004; Uphoff, 2004; Yang et al., 2004;). Akibatnya hanya sekitar 30% akar yang dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Oleh karena itu, tingkat perolehan hasil padi (produktivitas) yang diperoleh saat ini merupakan kontribusi dari sekitar 30% sistem perakaran. Dengan IPAT-BO, sistem perakaran padi berkembang dengan baik dan potensi zona perakaran dapat meningkat hingga 3–10 kali dibandingkan dengan sistem konvensional (Gambar 1). Hasil kajian lapangan memperlihatkan bahwa padi memiliki potensi untuk menghasilkan anakan yang sangat banyak. Jumlah anakan bergantung pada jarak tanam dan jumlah bibit yang ditanam. Dengan jarak tanam lebar dan pasokan nutrisi yang baik didukung oleh sistem tata air dan udara, padi dapat memanfaatkan sinar matahari secara optimum dan mampu menghasilkan sekitar 80?100 anakan per rumpun (Gambar 2) | |||||||||||||||||||||||||||||
Gambar 2 Padi varietas Ciherang dengan IPAT-BO menghasilkan 80?100 anakan/rumpun sedangkan kontrol hanya 20?30 anakan/ rumpun di Ds Cimalaka, Kab. Sumedang (Dok. Simarmata, 2006-2007)
| |||||||||||||||||||||||||||||
2.4. Konsep Pemupukan
Konsep dasar pemupukan metoda IPAT-BO adalah berorientasi hasil (output oriented) dengan LEISA (low external input of sustainable agriculture). Oleh karena itu, memupuk adalah memasok bahan baku (hara makro dan mikro) atau makanan yang diperlukan tanaman sebagai mesin biologis dalam jumlah dan komposisi yang tepat untuk mencapai tingkat hasil yang diinginkan. Metoda IPAT-BO menerapkan pola pemupukan terpadu, yaitu menggunakan perpaduan pupuk organik (kompos jerami), pupuk hayati (biofertilizers), biostimulan dan pupuk anorganik. Dalam konteks ini, pemupukan berimbang mencakup hara makro, mikro dan pupuk organik. Dosis dan komposisi unsur hara (NPK) didasarkan pada fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman berdasarkan spesifik lokasi (IRRI,2005). | |||||||||||||||||||||||||||||
III. TEKNOLOGI PEMULIHAN KESEHATAN LAHAN SAWAH
| |||||||||||||||||||||||||||||
Pada dasarnya, pemulihan kesehatan tanah dan pengurangan penggunaan pupuk anorganik serta peningkatkan produktivitas lahan sawah relatif lebih mudah dan murah. Teknologi pemulihan kesehatan lahan didapat dilakukan dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah hingga > 2%. Bahan organik merupakan titik masuknya energi (entry point) ke dalam ekosistem tanah dan aktivator multimanfaat dalam meningkatkan kesehatan dan kualitas tanah. Sumber utama kebutuhan bahan organik yaitu jerami tersedia dalam jumlah yang besar di lahan. Pada dasarnya hasil utama bertanam padi adalah pupuk organik dalam bentuk jerami. Untuk setiap hektar dihasilkan sekitar 8 – 12 ton jerami (sekitar 1,5 x hasil gabah) per musim atau setara dengan 4 – 6 ton kompos jerami/ha/musim. Potensi jerami sebagai pupuk untuk mensubsitusi pupuk anorganik disajikan pada Tabel dibawah ini:
Tabel 1. Potensi jerami dalam mensubstitusi pupuk anorganik dan mengurangi subsidi pupuk di Indonesia | |||||||||||||||||||||||||||||
Tabel di atas memperlihatkan bahwa pemanfaatan jerami atau kompos jerami, dapat mengurangi penggunaan pupuk anorganik hingga 50%. Terutama hara K dan Si yang sangat penting untuk pertanaman padi dapat disuplai dalam jumlah yang sangat besar (disubstitusi hingga 100 %). Penggunaan kompos jerami sekitar 4 – 6 ton/ha mampu memasok kebutuhan hara K dan Si untuk mencapai tingkat produktivitas sekitar 6 – 8 ton gabah/ha. Sejak tahun 2007, fakultas pertanian Unpad bekerjasama dengan Kementerian Negara Riset dan Teknologi mengembangan teknologi peningkatan produksi padi berbasis organik, dikenal dengan IPAT-BO (intensifikasi padi aerob terkendali berbasis organik). Jerami atau kompos jerami digunakan sebagai agen utama untuk memulihakan kesehatan tanah dan meningkatkan produksi padi
| |||||||||||||||||||||||||||||
1. Pengkomposan Jerami Langsung Di Lahan (In situ)
Program pemanfaatan dan pengkomposan jerami telah banyak dilakukan dan mendapat bantuan dari pemerintah (rumah kompos dan mesin pencacah jerami). Kendala utamanya antara lain adalah memerlukan biaya dan tenaga untuk mengangkut jerami dari lahan, khususnya lahan sawah yang tidak berada dipingggir jalan. Salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mengadopsi teknologi pengkomposan langsung di lahan (In Situ). Pengkomposan In situ sangat praktis dan murah, terlabih lagi jerami padi dapat langsung dikomposkan tanpa dipotong-potong (dicacah) dan pembalikan. Untuk meningkatkan mempercepat laju pengkomposan, meningkatkan kualitas` kompos dan menekan keberadaan penyebab penyakit (potogen) digunakan konsorsium mikroba pengurai beragen hayati (ABG Degra). Teknologi pengomposan in situ dan pemanfaatan pupuk bio telah diadopsi Program pemulihan kesehatan dan kesuburan lahan sawah berkelanjutan tahun 2010 di 8 propinsi (Jabar, Banten, Jateng, Jatim, Sulsel, Sumbar dan Sulsel) melalui program BLP (Bantuan Langsung Pupuk) yang dikenal dengan Program Biodekomposer. Program BIO-DEKOMPOSER, yaitu pemanfaatan Dekomposer (mikroba perombak bahan organic beragen hayati) untuk mempercepat pengomposan jerami langsung di lahan (in situ), meningkatkan kualitas kompos jerami (kandungan hara utama N, P, K , Si dan hara mikro, KTK) dan menekan pathogen dalam jerami dan aplikasi inokulan pupuk Bio (ABG BIO), yaitu untuk meningkatkan ketersediaan hara terutama N dan P pada persemaian maupun di pertanaman. | |||||||||||||||||||||||||||||
Pelaksanaan pengkomposan jerami di lahan adalah sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||
2. Teknik Aplikasi Kompos Jerami
Aplikasi kompos jerami pada ekosisstem lahan sawah dapat berbeda dengan ekosistem lahan kering, terutama yang berkaitan dengan tingkat kematangan kompos atau nisbah C/N waktu penggunaanya. Secara garis besar teknik aplikasi kompos jerami pada lahan sawah adalah sebagai berikut:
| |||||||||||||||||||||||||||||
Gambar 4 Penebaran kompos jerami sebelum pengolahan lahan dan dilanjutkan dengan inkorporasinya bersamaan dengan pengolahan (traktor atau bajak) dan persiapan tanam
| |||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||
Gambar 5. Pemberian kompos jerami diantara barisan tanaman (kompos dibenamkan) setelah penyiangan gulma dan sekalian dengan sisa pencabutan gulma yang tumbuh rapat dengan rumpun tanaman secara manual, kemudian dilanjutkan dengan pemupukan
| |||||||||||||||||||||||||||||
IV. PEMULIHAN LAHAN DAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI DENGAN IPAT-BO
| |||||||||||||||||||||||||||||
Tabel 2. Efek pemberian kompos jerami pada beberap takaran pupuk kalium terhadap hasil tanaman padi (ton GKG/ha) (Nazarudin dan Simarmata, 2010).
| |||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada baris yang sama dan huruf besar yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada Uji BNT taraf a 0.05. | |||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||
Gambar 6. Rancangan bangun teknologi pemupukan IPAT-BO beriotasi hasil (8 – 12 ton/ha)
| |||||||||||||||||||||||||||||
Keberhasilan dalam mencapai target produksi yang diinginkan akan bervariasi sesuai dengan managemen input dan kondisi agroekosistem yang bersifat dinamis dan berpengaruh signifikan terhadap kerja tanaman sebagai mesin biologis dan tanah sebagai bioreaktor
V. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
|
No comments for "Teknologi pemulihan kesehatan tanah sawah"
Post a Comment